11 Juli 2010

kuncinya : bersyukur

expr:id='"post-body-" + data:post.id'> Dulu, saya termasuk orang yang tidak peduli dengan manajemen. Hidup rasanya tak teratur. Berangkat ngantor, kerja, pulang, setelah itu istirahat. Begitu yang terjadi setiap hari. Saya merasa tidak dapat apa-apa. Keringat rasanya terbuang sia-sia. Hidup rasanya benar-benar tak teratur.

Hingga suatu ketika, dalam sebuah khotbah salah Jumat, saya menyadari kesalahan itu. Saya mendapatkan pencerahan tentang pentingnya memanajerial segala hal, termasuk kehidupan sehari-hari. Hidup harus diatur agar lebih teratur. Artinya, saya harus mampu me-manage setiap hal dan dimulai dari diri sendiri.

Awalnya terasa sulit. Ternyata, me-manage waktu untuk menata hidup ini tidak mudah. Dibutuhkan niat yang kuat dan usaha keras. Saya sering mengeluh.

Misalnya, meski berusaha me-manage diri sendiri, saya tetap merasa kekurangan. Saya tetap merasa sepi dan tak berarti. Buku-buku bertopik manajemen dan seminar bertema serupa rajin saya ikuti, terutama jika diadakan di Kota Pahlawan. Namun, hasilnya nihil. Saya merasakan banyak ruang kosong di jiwa ini; hampa.

Suatu ketika, saya memanggil tetangga saya, sebut saja Pak Agus, untuk memperbaiki listrik di tempat tinggal saya. Pada saat itu, terjadi dialog yang renyah. Sembari bekerja, Pak Agus berbagi cerita tentang keluarganya. Dia menuturkan bahwa istrinya baru diterima bekerja sebagai cleaning service. Dia mengatakan sangat bersyukur dengan hal itu. ”Alhamdulillah, bisa membantu keuangan keluarga kami,” tuturnya.

Sehari-hari, Pak Agus bekerja sebagai tukang. Dalam sehari, dia mendapatkan upah Rp 30 ribu. Jika ada proyek, itu berarti rezeki nomplok buat Pak Agus. Jika sepi proyek, Pak Agus berupaya menambal kebutuhan dengan menjadi tenaga serabutan. Sedangkan istrinya diupahi Rp 400 ribu sebulan. Jika ditotal, upah Pak Agus plus upah istrinya rata-rata tak lebih dari Rp 1,4 juta per bulan. Mereka punya dua anak laki-laki. Salah satunya memasuki pendidikan di sebuah SMK.

Saya berpikir, untuk bisa hidup layak di kota sebesar Surabaya, tentu join income Pak Agus dan istrinya tidak cukup. Pak Agus melanjutkan ceritanya. Dia dan istrinya juga tak lupa untuk menyisihkan sebagian kecil dari rezeki untuk ditabung.

Meski berpenghasilan sangat mepet, toh dia bisa menyekolahkan dua putranya. Bahkan, dia bisa membeli sebidang tanah di desanya, Tulungagung, Jawa Timur. Dengan perjuangan yang keras, dia kini bisa membeli sepeda motor bekas yang dipakai untuk mencari sesuap nasi bagi keluarganya. ”Yang penting, kita mesti bersyukur dengan apa yang diberi oleh Gusti Allah,” pesannya. Subhanallah.

Saya begitu malu dengan diri sendiri. Saya kadang merasa kurang dengan pendapatan yang lebih sedikit di atas penghasilan Pak Agus dan istrinya. Pelajaran yang saya dapat hari itu adalah salah satu manajemen terbaik, yakni bersyukur. Hal yang sangat dianjurkan dan mudah dilakukan, tapi kerap terabaikan.

”Wahai Tuhanku, jadikanlah aku orang yang pandai mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau karuniakan kepadaku dan kepada ibu-bapakku, dan jadikanlah aku orang yang beramal salih yang Engkau ridai, dan masukkanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan orang-orang yang salih.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar